Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE)

Dasar hukum dari fasilitas KITE ini adalah Pasal 26 Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 tentang Kepabeanan. Kemudian sesuai amanat pada pasal tersebut, Menteri Keuangan membagi fasilitas ini menjadi dua jenis yaitu KITE Pengembalian dan KITE Pembebasan. KITE Pengembalian diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 253/PMK.04/2011 sedangkan KITE Pembebasan diatur dalam PMK Nomor 254/PMK.04/2011. PMK yang mengatur tentang KITE Pembebasan itu sendiri telah diubah dengan diterbitkannya PMK Nomor 176/PMK.04/2013. Lebih lanjut, Direktur Jenderal Bea dan Cukai selaku Eselon 1 Kementerian Keuangan juga telah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) terkait hal yang sama. Perdirjen ini mengatur tata laksana dan petunjuk teknis dari fasilitas tersebut.

KITE Pengembalian dan KITE Pembebasan

Telah disebutkan sebelumnya bahwa ada dua jenis fasilitas KITE, yaitu KITE pengembalian dan KITE pembebasan. KITE Pengembalian mewajibkan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor saat pengajuan PIB. Pembayaran ini nantinya dapat dimintakan pengembalian setelah dilakukan realisasi ekspor atas PIB tersebut. Sedangkan dalam KITE Pembebasan, bea masuk dan pajak yang terutang pada saat impor barang dapat ditutup dengan jaminan. Nantinya ketika barang impor telah diolah dan kemudian diekspor maka jaminan dikembalikan.

Lebih lanjut terkait KITE Pembebasan, fasilitas ini juga meliputi PPN dan PPnBM. PMK 176/PMK.04/2013 menyebutkan bahwa atas impor bahan baku, termasuk bahan penolong, untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor dapat diberikan Pembebasan. Yang dimaksud dengan pembebasan adalah tidak dipungutnya bea masuk, PPN dan/atau PPnBM yang terutang atas impor tersebut. Selain itu, atas pengeluaran bahan baku dalam rangka subkontrak juga tidak dikenakan PPN dan/atau PPnBM. Begitupun ketika barang subkontrak tersebut dimasukkan kembali ke perusahaan.

Tidak semua importir yang mengimpor barang dan nantinya barangnya diekspor dapat serta merta menggunakan fasilitas ini. Ada beberapa prosedur dan persyaratan yang wajib dipenuhi. Salah satunya, pengguna fasilitas ini sebelumnya harus mendaftarkan diri sebagai perusahaan penerima fasilitas KITE. Terhadap perusahaan yang mendaftar nantinya akan diberikan Nomor Induk Perusahaan (NIPER) yang diwujudkan dalam suatu surat penetapan. Sebagaimana disebutkan bahwa fasilitas KITE ini ada dua jenis, maka NIPER juga ada dua yaitu NIPER Pengembalian maupun NIPER Pembebasan.

Pemenuhan Lartas dan Jangka Waktu

Apakah fasilitas ini juga membebaskan lartas sebagaimana fasilitas Kawasan Berikat? Sayangnya tidak. Importasi dalam rangka fasilitas KITE wajib memenuhi perijinan yang diperlukan dalam rangka impor baik itu lartas border maupun lartas post border. PMK 176/PMK.04/2013 menyebutkan bahwa atas impor bahan baku diberlakukan ketentuan umum di bidang impor, termasuk ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai larangan dan/atau pembatasan impor. Atas impor bahan baku yang dikenakan cukai, juga diberlakukan ketentuan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang cukai. Begitupun dengan bea keluar, jika hasil produksi merupakan barang yg dikenakan bea keluar maka perusahaan juga wajib membayar bea keluar atas ekspor produknya.

Ketika perusahaan mengimpor barang dalam rangka fasilitas KITE, adakah jangka waktu yang dipersyaratkan untuk barang tersebut harus diekspor? Ya. Barang yang diimpor dalam fasilitas KITE harus diekspor dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal importasi. Jangka waktu ini dapat ditetapkan lebih dari 12 bulan dalam hal perusahaan memiliki masa produksi lebih dari 12 bulan. Perusahaan juga dapat mengajukan perpanjangan periode, namun hanya dapat diajukan oleh sebelum periode berakhir. Pengajuan perpanjangan dapat disetujui dalam hal:

  1. terdapat penundaan ekspor dari pembeli di luar negeri
  2. terdapat pembatalan ekspor atau penggantian pembeli di luar negeri; atau
  3. terdapat kondisi force majeure.

Sebagaimana fasilitas lainnya, fasilitas ini juga memiliki sanksi yang berat bila disalahgunakan. Perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan atau keringanan bea masuk wajib membayar bea masuk yang terutang. Selain itu, terhadap pelanggaran ini juga akan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dan paling banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. Salah satu contoh pelanggarannya adalah memperjualbelikan bahan baku yang diimpor dalam rangka fasilitas yang seharusnya diproduksi untuk kemudian diekspor.